Penghentian Penyidikan Tidak Sah dalam Tindak idana Korupsi dan Upaya Hukum


Oleh: Tri Pandriono api2311062

Untuk mengetahui bahwa sah atau tidaknya penghentian penyidikan oleh Penyidik dalam tindak pidana korupsi, kita perlu tahu terlebih dahulu mengenai kewenangan penyidik dan alasannya dalam penghentian penyidikan. Berdasarkan Pasal 109 ayat 2 KUHAP mengatakan bahwa Penyidik dapat menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Alat bukti dalam KUHAP diatur dalam Pasal 184 ayat (1), bahwa alat bukti yang sah antara lain: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Yang dimaksud alat bukti petunjuk dapat kita lihat berdasarkan Pasal 188 KUHAP, bahwa Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya, alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Yang dimaksud dengan Bukti Awal adalah terpenuhinya adanya Laporan Polisi/Pengaduan dan 1 alat bukti sah, sedangkan bukti yang cukup adalah terpenuhinya minimal 2 alat bukti yang sah. Penyidikan yang dihentikan demi hukum disebabkan karena tersangka meninggal dunia, perkara telah kadaluarsa, pengaduan dicabut (khusus delik pengaduan) dan tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in idem).

Untuk mengetahui sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik maka dapat dilakukan upaya hukum praperadilan. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 huruf b juncto Pasal 80 KUHAP, bahwa praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

Sebelum membahas lebih dalam mengenai penghentian penyidikan tidak sah dalam tindak pidana korupsi dan upaya hukumnya, kita perlu mengetahui alat bukti apa dan siapa saja institusi atau lembaga yang berwenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Dalam ilmu hukum dikenal dengan adanya istilah asas Lex specialis Derogat Legi Generali yang artinya ketentuan hukum khusus mengesampingkan ketentuan hukum umum, ketentuan yang berlaku pada hukum umum akan tetap berlaku kecuali diatur khusus dalam aturan hukum tersebut. Dalam Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) alat bukti tidak hanya diatur dalam KUHAP saja melainkan ada perluasan jenis alat bukti lain yaitu alat bukti petunjuk, hal ini dapat dilihat pada Pasal 26 A UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu dan dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna.

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus yang dalam mekanisme penyidikannya dapat dilakukan oleh Polri, Kejaksaan dan KPK. Penyidikan tindak pidana korupsi oleh Polri didasarkan pada Pasal 1 angka 1 KUHAP juncto Pasal 6 ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia. Kemudian hal yang sama juga disebutkan di dalam Pasal 1 angka 10 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri bahwa penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan, dipertegas dengan Pasal 14 huruf g UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri bahwa untuk melaksanakan tugas pokok Polri dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Polri berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Penyidikan tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan dapat kita lihat berdasarkan Pasal 30 huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dan Perja No. 17 Tahun 2014 tentang perubahan atas perja No. 39 Taun 2010 tentang Tata Kelola Administrasi dan Tekhnis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus, bahwa di bidang pidana, Kejaksaan bertugas dan berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu dalam UU Kejaksaan ini, misalnya antara lain penyidikan terhadap pelanggaran HAM Berat sebagaimana diatur di dalam UU No. 26 Tahun tentang Pengadilan HAM dan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur di dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK (Penjelasan Pasal 30 huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan).

Dalam tindak pidana korupsi selain Polri dan Kejaksaan, KPK juga berwenang untuk melakukan penyidikan. Hal ini dapat kita lihat pada ketentuan Pasal 43 ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa KPK mempunyai tugas dan wewenang melakukan kordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini dipertegas dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang telah diubah untuk ke dua kalinya dengan UU No. 19 Tahun 2019 Pasal 6 huruf e bahwa KPK bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

Berdasarkan Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, menjelaskan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara, dan/atau menyangkut kerugian Negara paling sedikit 1 milyar rupiah. Tindak pidana korupsi yang tidak memenuhi ketentuan tersebut, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan wajib diserahkan kepada kepolisian dan/kejaksaan, akan tetapi KPK tetap melakukan supervisi terhadap penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan dan berwenang untuk melakukan pengambil alihan penyidikan dan/atau penuntutan terhadap Pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Polri atau Kejaksaan, dalam hal laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindak lanjuti, proses penanganan tindak pidana korupsi tanpa ada penyelesaian atau tertunda tanpa alasan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi Pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya, penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur tindak pidana korupsi, hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif atau legislative atau keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 10 UU No. 19 Tahun 2019).

Penghentian penyidikan tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh Penyidik Polri, Penyidik Kejaksaaan maupun Penyidik KPK dalam hal yang sama sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 109 ayat 2 KUHAP juncto Pasal 26 A UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, KPK juga berwenang untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 tahun. Ketentuan ini dapat dicabut oleh Pimpinan KPK apabila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan (Pasal 40 UU No. 19 Tahun 2019). Dengan demikian, apabila penghentian Penyidikan tindak pidana korupsi tidak berdasarkan alasan sebagaimana ketentuan tersebut maka dapat dilakukan upaya hukum praperadilan di Pengadilan Negeri untuk tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Polri dan Kejaksaan ataupun KPK, hal ini karena berdasarkan Pasal 1 angka 10 huruf b juncto Pasal 80 KUHAP, bahwa praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

Siapa saja pihak yang dapat melakukan upaya hukum untuk mengajukan praperadilan? Berdasarkan Pasal 80 KUHAP, menyatakan bahwa permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. Karena tindak pidana korupsi merupakan Tindak Pidana Khusus yang mengenal adanya asas Lex specialis Derogat Legi Generali, Pihak Ketiga yang dimaksud dalam ketentuan KUHAP tidak hanya kepada tersangka, keluarga, atau Kuasa Hukum Tersangka dan juga saksi korban saja, melainkan juga adanya Peran Serta Masyarakat sebagai upaya untuk melibatkan masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberantasan tindak pidana korupsi, hal ini dapat kita lihat berdasarkan Pasal 41 UU No. 39 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi, bahwa masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi . Penjelasan lebih lanjut dapat kita lihat pada PP No. 43 Tahun 2018 Pasal 2 ayat (2) tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dan Pemberantasan tindak pidana korupsi, bahwa peran serta Masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberantasan tindak pidana korupsi diwujudkan dalam bentuk hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadinya tindak pidana korupsi, hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada Penegak Hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi, hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepada Penegak Hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi, hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yang diberikan kepada Penegak Hukum, hak untuk memperoleh perlindungan hukum. Kemudian yang dimaksud dengan peran serta masyarakat adalah keikutsertaan secara aktif Masyarakat dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan baik orang perseorangan, maupun kelompok orang antara lain lembaga swadaya masyarakat dan organisasi masyarakat (Penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP No. 43 Tahun 2018 Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dan Pemberantasan tindak pidana korupsi). Hal ini lah yang menjadikan dasar atau legal standing masyarakat dalam upaya untuk mengajukan praperadilan apabila diduga penghentian penyidikan tidak sah.

Catatan :
1. Tuisann ini dalam rangka praktek membuat pendapat hukum dalam Diklat Advokasi dan Hukum (jadwal diklat https://paralegal.my.id/2024/09/kegiatan-tahun-2025/
2. Gabung WAG Aliansi Paralegal Indnesia :https://chat.whatsapp.com/HyhYDql6El57gZHp7940GS
3. Info Admin https://wa.me/6282132592360

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *